Bismillah

ﺑﺴﻢ ﺍﻟﻠﻪ ﺍﻟﺮﺣﻤﻦ ﺍﻟﺮﺣﻴﻢ‎​​​
Dengan nama ALLAH yg Maha Pengasih Maha Penyayang
In the name of ALLAH the Most Gracious the Most Merciful

Saturday, October 31, 2015

Move on

Kampanye pilpres sudah lama usai. Pemilihan presiden sudah pula selesai dan pemenangnya malah sudah secara sah dilantik menjadi Presiden Republik Indonesia.... tahun lalu. Iya, tahun lalu. Tapi herannya, meski sudah lebih dari setahun berlalu, masih ada aja sebagian pendukung presiden terpilih yang bersikap seakan-akan sekarang masih masa kampanye, dimana capres yang didukungnya tak boleh terlihat salah, tak boleh terlihat lemah dan tak boleh dikritik, agar bisa menarik hati pemilih dan menang pilpres. Luar biasanya, yang mengkritik presiden selalu dianggap sebagai "orang-orang yang belum move on karena jagoannya (baca: Prabowo) kalah di pilpres 2014". Padahal, tidak sedikit pengkritik keras presiden saat ini adalah mantan pendukung beliau di masa kampanye pilpres. Malah ada yang mantan Ring-1 beliau sejak masih mencalonkan diri sebagai DKI-1.

Saya khawatir pendukung RI-1 ini lupa, bahwa dimanapun yang namanya pemimpin harus siap dikritik. Kritik itu ada yang mengibaratkan sebagai obat -umumnya pahit- yang menyembuhkan. Kritik ada karena tidak ada manusia yang bebas dari kesalahan. Bahkan para Rasul/Nabi pun -sebagai manusia- bisa berbuat salah, bedanya Allah swt langsung yang menegur jika mereka berbuat salah. Jika manusia terbaik seperti para Rasul/Nabi saja bisa berbuat salah, apalagi cuma presiden di sebuah negara miskin tapi kaya bernama Indonesia.

Sejak reformasi 1998, pejabat presiden RI tidak lagi haram dikritik seperti jaman Orde Baru. Tak ada pejabat RI-1 pasca reformasi 98 yang steril dari kritikan. Mereka bahkan dibully, baik di parlemen, media massa dan yang umum sekarang; di media sosial. Habibie, Gus Dur, Megawati hingga SBY dihajar kritik kiri kanan atas bawah depan belakang, dari oposisi di parlemen hingga di warung kopi pinggir jalan. Silahkan tanya ama mbah gugel soal kritik-kritik untuk para presiden ini, Bermacam-macam aneka dan model kritik untuk mereka, dari yg sopan dengan toto kromo menyindir halus, demo sambil bakar foto hingga membawa kerbau yang ditempel nama RI-1 di perutnya. Semua ini jamak terjadi di negara yang menganut sistem demokrasi, walaupun setiap kebebasan selalu ada batasnya. Ada UU yang mengatur ini.

Orang bijak bilang bahwa semakin tinggi pohon semakin kencang anginnya. Ini maksudnya semakin tinggi jabatan semakin besar tanggung jawab dan biasanya berbanding lurus dengan semakin banyak kritik, hujatan bahkan hinaan. Ini berlaku umum, di setiap level jabatan dan pada setiap komunitas. Maka, setiap individu yang dengan kesadaran penuh mencalonkan diri sebagai pemimpin harus siap menerima 'angin kencang' ini. Ini adalah konsekuensi jabatan publik. Kalau tidak mau dikritik ya tidak usah jadi pemimpin. Tidak usah memanjat pohon tinggi-tinggi, cukup main-main di bawah pohon aja. Jadi rakyat biasa.

Sekedar mengingatkan, sekarang udah bukan jaman Orde Baru. RI-1 yg sekarang & pendukungnya waktu kampanye selalu berteriak anti Orde Baru. Malah, Orde Baru mereka jadikan senjata untuk menyerang capres saingan. Sekarang juga jamannya teknologi informatika dengan medsos sebagai salah satu produknya. Informasi jadi begitu cepat tersebar tanpa ada filter. Presiden seharusnya sudah tahu semua ini sebelum nyapres dan -seharusnya juga- sudah siap dengan segala konsekuensinya jika terpilih. Pendukung presiden -yang saya yakin pintar dan tidak gagap teknologi- juga mestinya tahu ini jadi aneh rasanya jika mereka ikut tersinggung saat ada yang mengkritik presiden, baik secara halus maupun kasar. Karena dengan nyapres itu artinya beliau sudah teken kontrak 'siap dikritik/dihujat/dihina/dibully dsb' di dunia nyata maupun di dunia maya jika terpilih. Beliau saja sudah siap, mengapa pendukungnya tidak?

Juga tak perlu takut sama Prabowo. Beliau itu cuma pengusaha yang kebetulan pernah jadi capres saingan presiden sekarang. Beliau tidak punya kekuatan politik apapun karena memang tidak memangku satupun jabatan publik. Tidak di legislatif, yudikatif apalagi eksekutif. Satu-satunya jabatan politik yang beliau pegang adalah ketua umum partai politik, yang tidak punya wewenang apapun kecuali di internal partainya.

Saya ingat para pendukung RI-1 ini masa kampanye 2014 kemarin pernah berjanji bahwa mereka akan ikut mengkritisi jika capres mereka terpilih. Sekarang saatnya membuktikan janji mereka karena capres mereka sekarang sudah jadi RI-1. Mari kita kritisi beliau agar jalannya lurus untuk kebaikan bangsa ini. Mari move on dari pilpres 2014. Oke?